Senin, 28 Desember 2009

PANDANGAN KRITIS TERHADAP
KURIKULUM PENDIDIKAN TENAGA SANITARIAN PADA JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
POLITEKNIK KESEHATAN PADANG

Oleh Burhan Muslim

A. Pendahuluan
Sanitarian merupakan salah tenaga fungsional di bidang kesehatan yang tergabung dalam kelompok tenaga kesehatan masyarakat. Tugas utama seorang sanitarian adalah mengawasi dan mengendalikan faktor-faktor lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, antrara lain seperti penyehatan air, penyehatan udara, penyehatan makanan, pengendalian serangga dan binatang pengganggu, serta kesehatan dan keselaman kerja.
Pendidikan sanitarian pada awalnya bersifat ikatan dinas, dimana setiap lulusannya langsung diangkat menjadi pegawai negeri di lingkungan Departemen Kesehatan. Saat ini, kebijaksanaan zero growth peronal di bidang kepegawaian menyebabkan kemampuan pemerintah untuk mengangkat sanitarian sebagai pegawai negeri menjadi terbatas, sementara itu kebutuhan ril akan tenaga sanitarian masih tinggi mengingat masalah-masalah kesehatan lingkungan semakin komplek sebagai akibat dari kemajuan di bidang industri, transportasi, dan semakin meningkatnya pencemaran air, udara dan tanah.
Perubahan kebijaksanaan pemerintah di bidang kepegawaian ini berpengaruh terhadap kebijaksanaan pendidikan sanitarian. Pendidikan sanitarian yang semula dipersiapkan untuk menjadi pelaksana program kesehatan lingkungan/sanitasi pemerintah di Indoensia, sekarang diarahkan untuk menjadi wiraswasta di bidang sanitasi atau menjadi sanitarian di sektor swasta. Perubahan ini ditandai dengan perubahan kurikulum yang memasukkan mata kuliah kewirausahaan sebagai salah satu materi tambahan.
Perubahan kebijaksanaan pendidikan tersebut, ternyata belum banyak memberikan perubahan terhadap sikap dan perilaku dosen dan mahasiswa. Para dosen masih cenderung meneruskan materi-materi pelajaran yang sebagian besar merupakan kebutuhan program sanitasi pemerintah, sedangkan materi-materi sanitasi yang dapat dijual sebagai jasa kepada masyarakat masih sangat terbatas.
Pada bagian lain, motivasi mahasiswa yang mengikuti pendidikan di Jurusan Kesehatan Lingkungan pada umumnya adalah untuk menjadi pegawai negeri. Hal ini antara lain disebabkan karena masyarakat umum sebagian besar belum mengetahui perubahan kebijaksanaan di bidang pendidikan tenaga sanitarian.
Masa transisi dalam pendidikan sanitarian ini berimplikasi terhadap kurikulum dan metode pembelajaran di Jursan Kesehatan Lingkungan. Kurikulum yang ada selama ini sebagian besar masih sama dengan kurikulum pendidikan sanitarian sewaktu bersifat ikatan dinas. Dosen yang mengajar juga masih merupakan dosen yang mengajar sewaktu lembaga ini bersifat ikatan dinas. Akibatnya terjadi beberapa ketitaksesuaian, dan ketidaksesusian tersebut menarik untuk dilihat secara kritis untuk melakukan perbaikan di masa mendatang.
B. Pendidikan Tenaga Sanitarian di Politeknik Kesehatan Padang
Pendidikan sanitarian di Padang telah ada sejak tahun 1982. Pada awal berdirinya lembaga tersebut bernama Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi Padang. Kemudian pada Tahun 1991, berubah nama menjadi Pendidikan Ahli Madya Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan sampai tahun 1997. Kemudian pada tahun 1997 berubah menjadi Akademi Kesehatan Lingkungan Padang. Pada tahun 2002, semua akademi kesehatan yang ada di Sumatera Barat bergabung menjadi satu yaitu Politeknik Kesehatan Padang, yang terdiri dari empat jurusan, yaitu Jurusan Kesehatan Lingkungan, Jurusan Gizi, Jurusan Keperawatan dan Jurusan Kebidanan.
C. Kurikulum Pendidikan Tenaga Sanitarian
1. Tujuan Pendidikan
a. Menghayati dan mampu melaksanakan cara pemecahan masalah, melaksanakan kegiatan dan membina kesadaran diri dan masyarakat dalam bidang kesehatan lingkungan/sanitasi
b. Mandiri dan berjiwa wirausaha dalam bidang kesehatan lingkungan/snitasi
c. Mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar kesehatan lingkungan/sanitasi yang dapat ditingkatkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
d. Mempunyai keterampilan yang dinamis dan flesksibel dalam melaksanakan upaya kesehatan lingkungan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
2. Materi/Konten
Materi kurikulum yang digunakan pada Pendidikan Sanitarian, dibedakan menjadi kurikulum inti dan kurikulum institusi:
Kurikulum inti, terdiri dari:
a. Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) sebanyak 10 SKS
b. Kelompok Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK) sebanyak 26 SKS
c. Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) sebanyak 35 SKS
d. Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB) sebanyak 18 SKS
e. Kelompok Mata Kuliah Berkehidupan Berkarya (MBB) sebanyak 9 SKS
Kurikulum institusi, terdiri dari:
a. Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) maksimal 2 SKS dari 4 SKS yang disediakan.
b. Kelompok Mata Kuliah Keahlian dan Keterampilan (MKK) maksimal 6 SKS dari 8 SKS yang disediakan
c. Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) maksimal 2 SKS dari 4 SKS yang disediakan
d. Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB) sebanyak maksimal 8 SKS dari 11 SKS yang disediakan
e. Kelompok Mata Kuliah Berkehidupan Berkarya (MBB) maksimal 4 SKS dari 6 SKS yang disediakan
3. Organisasi Materi
Urutan penyajian materi perkuliahan yang dilaksanakan di Poltekes Padang dimulai dari kelompok mata kuliah MPK kemudian diikuti oleh kelompok MKK, MKB, MPB dan MBB. Dalam urutan penyajian tersebut tidak disebutkan adanya mata kuliah prasyarat sebagai persyaratan untuk mengambil mata kuliah lain yang berkaitan.
4. Evaluasi
Evaluasi hasil belajar yang dilakukan di Jurusan Kesehatan Lingkungan dilaksanakan secara tertulis, lisan dan praktek untuk evaluasi keterampilan. Standar penilaian ditetapkan dengan PAP (Penilaian Acuan Patokan), yakni membandingkan antara tingkat penguasaan mahasiswa dengan batas lulus yang ditetapkan.
a. Evaluasi yang menyangkut aspek pengetahuan dilakukan dengan test tertulis dan lisan
b. Evaluasi yang menyangkut aspek keterampilan (psikomotor) dilakukan melalui ujian praktek
c. Evaluasi mengangkut kemampuan menulis dan mempertahankan pendapat, dilakukan melalui ujian karya tulis ilmiah di depan dewan penguji Karya Tulis Ilmiah.
D. Pemahasan
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu aim, goal dan objective (Orntein dan Hunkins, 1988: 145-153, Zais, 1976: 297). Aim merupakan tujuan yang paling umum yang tidak berkaitan langsung dengan proses pembelajaran. Goal merupakan penjabaran lebih lanjut dari aim, yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga pendidikan. Sedangkan objective, merupakan tujuan mata pelajaran dalam sebuah kurikulum.
Di Negara Indonesia, aim identik dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Sebagai aim, maka tujuan setiap lembaga pendidikan di Indonesia harus mengacu kepeda tujuan pendidikan nasional.. Setidaknya-tidaknya ada tiga potensi yang harus dikembangkan secara seimbang dalam setiap lembaga pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu potensi spiritual keagamaan, potensi kepribadian dan potensi keterampilan.
Secara umum, tujuan pendidikan yang tercantum dalam Kurikulum Program Studi Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan dapat disebut sebagai goal. Goal yang merupakan jabaran lebih lanjut dari aim seyogyanya harus sejalan. Tujuan pendidikan yang tercantum dalam Kurikulum Jurusan Kesehatan Lingkungan, kurang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional (aim). Tujuan pendidikan di Jurusan Kesehatan Lingkungan menekankan aspek keterampilan. Aspek kepribadian sedikit ditampilkan sedangkan aspek spritual keagamaan tidak dicantumkan samak sekali.
Tujuan pendidikan Sanitarian di Jurusan Kesehatan Lingkungan tidak menunjukkan adanya dasar filosofis dan psikologis yang jelas. Tyler (1949) menyebutkan penetapan tujuan pendidikan didasarkan pada studi tentang pelajar, studi tentang kebutuhan masyarakat dan saran-saran dari ahli mata pelajaran. Lebih jauh Tyler menekankan pendapatnya bahwa filsaat dan psikologi belajar merupakan kriteria bagi penetapan lebih lanjut tujuan-tujuan pendidikan.
Ketiadaan aspek spiritual keagamaan dalam tujuan pendidikan dapat menjadikan pendidikan kehilangan makna. Dimensi spitritual merupakan salah satu dimensi kemanusiaan yang berperan sebagai pemberi makna terhadap apa yang dilakukan, dengan demikian spiritualitas dapat memberikan motivasi untuk senantiasa berbuat yang terbaik. Zohar (2005:63) menyebutkan bahwa spiritual merupakan sesuatu yang memberikan kehidupan atau vitalitas pada sebuah sistem. Lebih jauh Zohar menyebutkan bahwa unsur spiritual membuat manusia senantiasa ingin agar hidup dan upayanya memiliki arti.
Pada level objective (tujuan mata kuliah) pada umumnya juga terjadi pembiasan dari aim dan goal. Objective, pada umumnya disusun oleh dosen mata kuliah, dengan demikian tujuan yang dirumuskan sangat dipengaruhi oleh dasar filosofis dan psikologs dosen yang bersangkutan. Dosen yang memiliki pemahaman tentang aspek spiritual yang baik akan memasukkan unsur-unsur spiritual dalam tujuannya. Sementara dosen yang tidak memiliki pemahamanan spiritual yang cukup akan mengabaikan aspek ini.
2. Konten
Konten merupakan bagian terpenting dari sebuah kurikulum. Konten kurikulum menggambarkan apa yang diajarkan kepada mahasiswa. Konten juga merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan kurikulum yang akan dicapai. Konten yang terkandung dalam kurikulum pendidikan sanitarian mengambarkan bentuk manusia sanitarian yang akan diwujudkan.
Secara umum konten dalam kurikulum pendidikan snaitarian masih cenderung bersifat sentralistik. Sekitar 82% konten masih ditentukan oleh pusat, dalam hal ini Departemen Kesehatan, dan 18% merupakan kurikulum institusi yang pilihannya juga sudah dibatasi. Kondisi seperti ini secara ril kurang tepat karena masalah kesehatan yang dihadapi pada masing-masing daerah sangat bervariasi.
Salah satu tujuan pendidikan sanitarian, yaitu membina kesadaran diri dan masyarakat dalam bidang kesehatan lingkungan/sanitasi belum didukung oleh konten yang memadai. Untuk melakukan pembinaan kesadaran diri, terutama masyarakat diperlukan materi yang mengarah pada pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mengatasi masalah kesehatan dewasa ini masyarakat harus berperan aktif, dan untuk mencapai hal tersebut masyarakat perlu dibina dan dididik untuk itu. Oleh karena itu materi tentang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan lingkungan perlu dimasukkan sebagai salah satu materi dalam kurikulum pendidikan sanitarian.
Kurikulum di Jurusan Kesehatan Lingkungan cenderung pada Content base curriculum. Materi yang akan diajarkan sudah diuraikan secara sangat rinci dalam GBPP lengkap dengan metode pengajaran yang digunakan, yaitu ceramah, diskusi, praktek dan kerja lapangan. Sehingga mehasiswa cenderung belajar verbalis dan sangat tergantung dari apa yang diberikan oleh Dosen.
Penentuan metode pembelajaran untuk setiap materi kurang tepat diterapkan pada saat ini. Pada saat ini, perkembangan teknologi informasi memungkinkan mahasiswa untuk belajar melalui berbagai metode, diluar empat metode yang telah ditetapkan. Tidak semua konten dapat dirobah menjadi kompetensi. Sebagian besar konten harus dirobah menjadi pengalaman belajar sebelum menjadi kompetensi. Zais (1976:350) menyebutkan bahwa pengalaman belajar jarang terwujud dari materi atau konten saja. Memiliki tujuan yang baik, konten yang tepat serta prosedur evaluasi yang cocok, belum tentu memadai jika kegiatan belajar tidak diprogram untuk menghasilkan pengalaman belajar yang diinginkan.
Pengalaman belajar merupakan kebutuhan belajar yang paling dibutuhkan seorang sanitarian. Seorang sanitartian dipersiapkan untuk bekerja mandiiri dalam menanggulangi masalah-masalah lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap kesaehatan. Dengan demikian sebelum terjun ke dalam bidang tugas sebenarnya, maka seorang sanitarian harus memiliki pengalaman belajar dalam kondisi ril yang mencukupi. Dengan melihat proporsi pengalaman belajar yang masih didominasi oleh ceramah, maka pengalaman belajar yang dibutuhan sulit untuk dicapai.
Kreativitas dosen dalam implementasi kurikulum di kelas sering tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam menyusun silabus, dosen cenderung menyesuaikan dengan materi yang terdapat dalam literatur yang tersedia dan dikuasai oleh dosen tersebut. Akibatnya materi yang dikuasai dengan baik cenderung diberikan lebih banyak, sedangkan materi yang kurang dikuasai cenderung diberikan alakadarnya. Dengan kata lain materi yang diberikan tidak dsesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan kebutuhan masyarakat, tetapi disesuaikan dengan penguasaan dosen. Keadaan seperti ini tidak tepat, karena penetapan materi, salah satu pertimbangannya adalah kebutuhan masyarakat dan kebutuhan mahasiswa.
3. Organisasi
Organisasi kurikulum mencakup urutan, aturan, dan integrasi kegiatan-kegiatan belajar sedemikian rupa guna pencapaian tujuan-tujuan (Ansyar, 1989:122). Urutan penyajian materi dan pemberian pengalaman belajar menjadi hal yang penting karena profesi sanitarian merupakan multi disiplin. Sebagian menjadi prasyarat untuk dapat menngusai materi lainnya. Misalnya sebelum mahasiswa mempelajari identifikasi bahan-bahan polutan dalam air, maka sebelumnya mahasiswa harus mengasai kimia air.
Secara umum, urutan pemberian materi dan pengalaman belajar dalam kurikulum di Jurusan Kesehatan Lingkungan sudah memperhatikan hal-hal tersebut. Yang sering menjadi perosoalan adalah pelaksanaan proses pembelajaran di kelas. Pada umumnya satu mata kuliah diasuh oleh beberapa orang tim dosen. Tim dosen tersebut biasanya telah membagi materi tersebut berdasarkan minat dan penguasannya. Masalah timbul ketika seorang dosen mengganti dosen yang lain. Biasanya dosen yang mengganti tersebut menyampaikan materi yang telah dikuasainya, akibatnya terjadi peyimpangan dari silabus yang telah disusun.
Masalah lain yang juga sering terjadi adalah kecenderungan dosen memberikan materi sesuai dengan urutan materi dalam buku teks. Dalam hal ini dosen berasumsi bahwa urutan materi dalam buku teks merupakan urutan yang sudah tepat. Dalam hal ini perlu diperthatikan bahwa tidak semua buku teks disusun untuk konsumsi pendidikan tertentu, melainkan untuk konsumsi pendidikan pada umunya. Dengan demikian tidak semua urutan penyajian tersebut sesuai dengan pendidikan sanitarian, dan bahkan ada beberapa materi dalam buku teks yang tidak dibutuhkan atau sebaliknya ada materi yang tidak bisa ditemukan dalam buku teks yang tersedia. Oleh karena itu urutan penyajian perlu mempertimbangkan berbagai hal dan dibahas secara bersama dengan pengasuh mata kuliah lain yang terkait. Ansyar (1989: 125) mengutip pendapat Schubert bahwa ada enam kriteria penetuan urutan, yaitu presentasi menurut buku teks, preferensi guru, strukutr disiplin ilmu, minat anak didik, hirarki belajar dan perkembangan.
4. Evaluasi
Sebagai pendidikan vokasional yang megutamakan penguasaan kompetensi terentu, maka teknik penilaian yang dilakukan di Jurusan Kesehatan Lingkungan yang menggunakan Penilaian Acuan Patokan sudah tepat. PAP menuntut tingkat penguasaan tertentu mahasiswa untuk dapat dinyatakan lulus. Hal ini sesuai dengan tuntutan profesi sanitarian yang dituntut untuk menguasai ilmunya dengan baik sebelum melakukan pelayanan kepada masyarakat.
Persoalan timbul sewaktu kita melihat lebih jauh tentang teknik pengukuran dan instrumen yang digunakan. Seorang sanitarian dituntut untuk bekerja sesuai dengan Standard Operasional Procedure (SOP) untuk menghasilkan data yang akurat. Misalnya untuk melakukan analisis kadar Hg dalam air minum, sanitarian dituntut untuk bekerja sesuai dengan prosedur, karena penyimpangan terhadap prosedur akan menyebabkan kadar yang diperoleh tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, dan ini dapat berakibat fatal terhadap masyarakat yang dilayani. Untuk mengukur ketepatan prosedur ini, tidak ada cara lain mahasiswa dituntut untuk melakukan unjuk kerja secara perorangan melalui pengamatan oleh penguji dan ini berarti bahwa penguji dan mahasiswa memerlukan waktu ujian yang panjang karena pekerjaan sanitarian yang menggunakan SOP sangat banyak.
Sebagai jalan keluar, biasanya dosen melakukan modifikasi dalam pengukuran ini. Biasanya dosen menilai prosedur kerja ini melalui tes tertulis, dimana setiap mahasiswa disuruh menuliskan prosedur kerja suatu kegiatan secara lengkap dan berurutan. Pengukuran seperti ini tentu saja tidak tepat, karena pengukuran seperti ini yang diukur bukan lagi ketermpilan (psikomotor) tetapi berubah menjadi aspek koginitip atau pengetahuan, dan hal ini mendorong mahasiswa menjadi verbalis, yakni hanya menghapal prosedur kerja walapun tidak mampu melaksanakannya. Hal ini antara lain terjadi karena keterbatasan peralatan, sehingga untuk mengukur kemampuan setiap mahasiswa memerlukan waktu yang lama.
E. Kesimpulan
Dari kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat ketidaksingkronan antara berbagai elemen-elemen kurikulum yang digunakan dalam pendidikan sanitarian di Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang. Kurikulum yang digunakan cenderung bersifat content base curriclulum dan proses pembelajaran masih didominasi oleh dosen.

Daftar Pustaka
Ansyar, Mohammad.1989. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Jakarta.
Ansyar, Mohammad dan H. Nurtain. 1992. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2003. Kurikulum Nasional Program Studi Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Tahun 2003.
Orntein, A.C. & Hunkins, F.P. 1988. Curriculum: Principles, Foundations and Issues. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.
Politeknik Kesehatan Padang. 2006. Buku Panduan Pendidikan Politeknik Kesehatan Padang Tahun Akademik 2006/2007.
Tyler, Ralph W.1949. Basic Principles of Curriculum and Instruction. The University of Chicago Press. Chicago.
Zais, R.S. 1976. Curriculum: Principles, Foundations. New York: Harper & Row Publishers.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2005. Spiritual Capital (terjemahan Helmi Mustofa). Mizan. Bandung.